LATAR BELAKANGSejarah pertanian di Indonesia secara intensif telah dimulai kurang lebih semenjak tahun 1969 pada saat dimulainya program intesifikasi massal (INMAS) untuk petani sebagai dampak revolusi hijau di tingkat dunia. Pada tahun itu petani mulai dikenalkan dengan berbagai jenis pupuk buatan (bersifat kimiawi), obat-obatan pembasmi hama-penyakit dan gulma (pestisida dan herbisida) serta benih-benih yang berdaya hasil tinggi.
Selain masalah pengerasan tanah akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan seperti tersebut di atas, masalah lain yang patut diperhatikan di Indoneia adalah adanya indikasi proses pemiskinan atau pengurangan kandungan 10 jenis unsur hara meliputi sebagian unsur hara makro yaitu Ca, S dan Mg (3 unsur) serta unsur hara mikro Yaitu Fe, Na, Zn, Cu, Mn, B dan Cl (7 jenis unsur). Seperti diketahui saat ini (Journal ilmiah soil science,1998) dari sekian banyak unsur yang ada di alam, semua jenis tanaman membutuhkan mutlak (harus tersedia/tidak boleh tidak) 13 macam unsur hara untuk keperluan proses pertumbuhan dan perkembangannya yang sering dikenal dengan nama unsur hara essensial. Unsur hara ini diperlukan dalam jumlah yang berbeda satu sama lain yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi unsur hara makro (6 jenis) yang dibutuhkan dalam jumlah lebih banyak (unsur N, P, K, Ca, S dan Mg) dan unsur hara mikro (7 jenis) yang dibutuhkan lebih sedikit (Unsur Fe, Na, Zn, Mn, B, Cu dan Cl). Walaupun berbeda dalam jumlah kebutuhannya namun dalam fungsi pada tanaman, masing-masing unsur sama pentingnya dan tidak bisa mengalahkan/menggantikan satu sama lainnya . Kalau dapat diilustrasikan, ibarat roda mobil dengan setir/kemudi. Dalam jumlah memang roda dibutuhkan dalam jumlah lebih banyak dibandingkan setir (kemudi). Namun dari pentingya, roda tidak bisa mengalahkan/menggantikan pentingnya kemudi ataupun sebaliknya kemudi tidak bisa mangalahkan pentingnya roda. Dalam hal ini masing-masing unsur hara mempunyai fungsi dan peran khusus sendiri-sendiri terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga jika terjadi kekurangan satu jenis unsur hara saja akan mengakibatkan tidak optimalnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman . Jadi 13 macam unsur hara tersebut jika pada manusia ibarat menu makanan 4 sehat (karbohidrat, daging, sayuran, dan buah) 5 sempurna (susu) yang masing-masing mempunyai peran sendiri-sendiri.Unsur-unsur di alam (termasuk 13 unsur hara esensial ),selalu mengalami recycling proses atau proses perputaran, sehingga kandungannya relatif tetap karena selalu kembali lagi ke ketempat semula (berputar). Padahal kita tahu, dalam suatu usaha budidaya tanaman, paling tidak ada sebagian unsur yang tidak kembali lagi ke tanah/lahan tempat semula ditanam karena dibawa keluar areal pertanaman dalam bentuk hasil panen. Kehilangan unsur hara ini semakin diperparah dengan perubahan pola pemanfaatan tanaman.
Dari sektor pemupukan dampak dari penggunaan pupuk anorganik /kimiawi disertai paket-paket lainnya yang dikenal dengan nama panca usaha tani menghasilkan peningkatan produktivitas tanaman yang cukup tinggi dibandingkan kondisi sebelumnya, hingga Indonesia dapat mencapai swasembada Pangan tahun 1986 dan mendapat penghargaan dari organisai pangan dunia di PBB (FAO). Namun peralihan dalam budaya bertani yaitu peralihan dari penggunaan pupuk organik (kandang, kompos, tanaman golongan leguminoceae) ke penggunaan pupuk anorganik (kimia) dalam jangka yang relatip cukup panjang hingga saat ini telah menimbulkan dampak samping yaitu menjadikan tanah-tanah pertanian Indonesia menjadi semakin keras sehingga menurunkan produktivitasnya . Semakin kerasnya tanah ini bukan disebabkan oleh hilangnya tanah lapisan atas (top soil) tetapi lebih disebabkan penumpukan sisa atau residu pupuk kimia dalam tanah yang berakibat tanah sulit terurai . Hal ini disebabkan karena memang salah satu sifat bahan kimia adalah relatif lebih sulit terurai atau hancur dibandingkan dengan bahan organik. Jika tanah menjadi semakin keras, maka akan mengakibatkan tanaman akan semakin sulit menyerap pupuk/ unsur hara tanah. Jadi jika tanah semakin keras untuk mendapatkan hasil yang sama dengan hasil panen sebelumnya diperlukan dosis pupuk lebih tinggi. Hal inilah yang menyebabkan mengapa dosis pupuk semakin lama semakin tinggi. Selain itu dengan semakin kerasnya tanah, proses penyebaran perakaran dan aerasi (pernafasan) akar akan terganggu yang berakibat akar tidak dapat berfungsi optimal dan pada gilirannya akan menurunkan kemampuan produksi tanaman tersebut.
Sebagai contoh adalah jika dulu padi hanya diambil (dipanen) keluar areal penanaman dalam bentuk gabah saja, sekarang masih ditambah dengan batang padi (bhs.Jawa :”Damen”) untuk keperluan semisal untuk budidaya jamur merang. Tanaman jagung selain jagungnya, sekarang daun-daun dan batang mudanya juga di bawa keluar areal untuk pakan ternak. Dalam hal ini kehilangan 13 unsur hara esensial dari areal pertanaman semakin banyak. Sementara sebagian besar petani mengembalikan dalam bentuk pupuk hanya terbatas pada 3 jenis unsur saja (N, P dan K). sebenarnya 10 unsur sisanya seharusnya dapat sedikit tertolong jika petani selain memberikan unsur N (Pupuk urea), P (Pupuk TSP), dan K (Pupuk KCL) juga memberi pupuk kandang atau kompos dalam jumlah yang mencukupi. Namun hal ini tidak atau jarang terjadi karena sepeti telah diuraikan di atas yaitu telah terjadi pengurangan pemakaian pupuk kandang atau kompos di tingkat petani karena telah beralih ke pupuk kimia. Jika hal ini berlangsung terus dalam jangka waktu yang relatif lama (Semenjak tahun 1969 hingga sekarang) dapat dimengerti jika tanah-tanah di Indonesia kekurangan 10 jenis unsur hara esensial seperti tersebut di atas. Secara lengkap, beberapa faktor yang turut berperan terhadap kekurangan unsur hara (terutama unsur hara mikro adalah sebagai berikut :
1.Kehilangan unsur hara yang diserap tanaman dari tanah dalam betuk hasil panen dan bagian tanaman-tanaman lain karena kegiatan budidaya pertanian yang intensif (terutama di pulau Jawa).
2.Tanah secara alamiah memang berkadar unsur hara mikro rendah (terutama diluar pulau Jawa).
3.Perluasan areal penanaman ke daerah marjinal (kurang subur).
4.Penggunaan pupuk kimiawi beranalisis tinggi.
5.Tingginya penggunaan pupuk kimiawi dan kurangnya pemakaian pupuk organik.
6.Pemupukan TSP (Unsur fosfat) yang terus menerus dan berlebihan akan merangsang kekurangan unsur hara mikro tertentu antara lain Zn.
7.Introduksi varietas unggul baru yang lebih peka terhadap kekurangan unsur hara .
8.Kegiatan budidaya di lahan masam atau pH tinggi, dimana unsur hara mikro tertentu kurang tersedia bagi tanaman.
Di tingkat dunia (khususnya negara-negara maju dan berkembang) seiring dengan semakin tingginya kesadaran akan kesehatan dan kualiltas lingkungan, maka terdapat kecenderungan pergeseran pola konsumsi pada hasil hasil pertanian (tanaman dan daging) yang dibudidayakan secara organik yaitu budidaya yang menggunakan masukan kimiawi seminim mungkin sehingga aman bagi kesehatan manusia dan kualitas lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar